Pada baris kesembilan dari isi prasasti Kotakapur yang keseluruhannya terdiri dari sepuluh baris tertulis dalam huruf Pallawa berbahasa Melayu Kuno “Saardha swasta niroga swastanirupadrawa subhisa muah yam wanuanya pawaris// cakawarsatita 608 dim pratipada cuklapaksa wulan maichaka, tatkalanya” yang diterjemahkan “(untunglah (ia), selamat, tidak kena penyakit, tidak kena celaka dan makmur pula di seluruh daerahnya. Tahun caka telah berjalan 608 pada tanggal satu paro terang, pada bulan Waicaka (April-Mei) tatkalanya)”. Berdasarkan baris kesembilan isi dari prasasti Kotakapur tersebut dapat diketahui, bahwa batu bertulis (prasasti) berbentuk Lingga persegi enam dengan tebal sekitar 18 cm dan pada bagian bawah memiliki ketebalan 32 cm, dengan tinggi 1,77 m, lengkap dengan alasnya (yoni) berukuran panjang 90 cm, lebar 52 cm dan tinggi 17 cm yang ditemukan di lokasi situs dalam wilayah Desa Kotakapur Kecamatan Mendobarat Kabupaten Bangka oleh J.K. Meulen pada bulan Desember tahun 1892 telah berumur 1325 tahun.
Prasasti Kotakapur merupakan salah satu prasasti tertua peninggalan Kedatuan Sriwijaya yang ditemukan di luar Pulau Sumatera dan merupakan bukti tertulis tertua tentang Pulau Bangka. Keterangan pada prasasti antara lain menjelaskan, bahwa sekitar tahun 690 Kedatuan Sriwijaya telah mengembangkan sayapnya dan menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya di Sumatra. Kenyataan ini diperkuat dengan adanya 5 buah prasasti peninggalan dari Kedatuan Sriwijaya, yang semuanya ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa Melayu kuno. Prasasti Kedukan Bukit ditemukan dekat Palembang, berangka tahun 605 saka (683 masehi) menceritakan perjalanan suci (sidhayatra) yang dilakukan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga dengan perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara sebanyak dua laksa (sekitar 20.000 orang), dan berhasil menaklukkan beberapa daerah. Dengan kemenangannya itu Sriwijaya menjadi makmur (Sriwijaya berarti kemenangan mulia). Prasasti kedua adalah prasasti Talang Tuo ditemukan dekat Palembang, berangka tahun 684 masehi berisi tentang pembuatan taman Sriksetra atas perintah Dapunta Hiyang Sri Jayanaga untuk kemakmuran semua makhluk, semua harapan dan doa yang tertulis dalam prasasti itu menunjukkan, bahwa Kedatuan Sriwijaya penduduknya menganut agama Budha Mahayana. Prasasti ketiga ditemukan di Telaga Batu dekat Palembang, tidak berangka tahun dan isinya tentang kutukan-kutukan yang sangat seram terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah-perintah raja, kemudian prasasti yang keempat ditemukan di Kotakapur, Bangka dan prasati kelima ditemukan di Karang Berahi, di daerah Jambi Hulu. Isi dua prasati terakhir tersebut sama, kecuali kalimat terakhir pada prasasti Kotakapur yang tidak terdapat pada prasasti Karang Berahi yaitu kalimat “bumi jawa tidak tunduk kepada Sriwijaya”. Dua prasati ini berangka tahun 686 masehi, dan isinya adalah permintaan kepada para dewa yang menjaga kedatuan Sriwijaya untuk menghukum setiap orang yang bermaksud jahat dan mendurhaka terhadap kekuasaan Sriwijaya, dan untuk menjamin keselamatan mereka yang tetap taat dan setia. Dua prasati ini menunjukkan, bahwa Pulau Bangka dan daerah Merangin (Melayu) dalam tahun 686 itu telah ditaklukkan oleh Sriwijaya. Sementara itu sang raja berusaha pula menundukkan (bumi jawa). Mungkin sekali bumi jawa adalah Tarumanagara. Meskipun dari Jawa Barat sendiri tidak ada keterangan dari abad ke-7 ini, namun menurut berita Tionghoa To-lo-mo dalam tahun 669 masih mengirimkan utusannya ke Tiongkok. Saingan antara kedua negara itu sudah wajar sekali, oleh karena masing-masing ingin menguasai laut sekitar Pulau Bangka yang menjadi simpang tiga jalan pelayaran antara Indonesia-Tiongkok-India. Inilah pula sebabnya Sriwijaya merebut Palembang dan Jambi, dua pelabuhan laut yang terpenting pada sisi barat jalan pelayaran ini dan juga Bangka yang merupakan kunci simpang tiga tadi. (Soekmono, 1973:38-39). Saat kejayaan Kedatuan Sriwijaya, Selat Bangka merupakan jalur lalulintas perdagangan yang ramai. Berdasarkan tulisan Ma-Huan, seorang penulis yang ikut dalam ekspedisi Cheng Ho sekitar tahun 1420 mengatakan “kapal-kapal yang datang darimanapun melalui Selat Peng-Chia (Selat Bangka)”. Kawasan Selat Bangka dan Pulau Bangka kemudian pada masa selanjutnya menjadi lebih penting dan strategis sejak ditemukannya timah serta Pulau Bangka menjadi pulau penghasil lada putih terbesar di dunia yang dikenal dengan sebutan Muntok Pepper. Karena padatnya alur pelayaran dan lebar serta kedalaman laut di Selat Bangka yang berbeda, menyebabkan kondisi tersebut sangat membahayakan bagi pelayaran, maka Pemerintah Belanda membangun Menara suar yang monumental di Tanjung Kelian pada tahun 1864 dengan bentuk dan gaya arsitektur Inggris.
Disamping bukti tertulis pada prasasti Kota Kapur, bukti tertua tentang Pulau Bangka diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh sebuah tim penelitian gabungan dari Ecole Francaise d’Extreme-orient (EFEO, Prancis), Balai Arkeologi Palembang dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Jakarta) yang melaksanakan survei dan ekskavasi di Situs Kotakapur dari tanggal 5 sampai dengan 18 Agustus 1996. Di Situs Kotakapur ditemukan bangunan benteng tanah, sisa struktur bangunan-bangunan candi, arca Dewa Wisnu (potongan tangan dengan atribut siput atau syangka dan potongan kaki, yoni yang semuanya terbuat dari batu dan terak logam serta sejumlah pecahan keramik berasal dari Cina Selatan abad 12-13 masa dinasti Sung. Beberapa wajan (kuali rendah) terbuat besi juga ditemukan dalam konteks reruntuhan bangunan candi, walaupun diduga merupakan tinggalan baru. Temuan-temuan tersebut mengacu adanya berbagai aktivitas manusia masa lampau pada masa berlainan, baik bersifat keagamaan maupun kehidupan sehari-hari (Tri Marhaeni, 1995:2).
Sisa struktur bangunan candi yang tidak intak lagi dengan sejumlah arca Wisnu menjadikan bukti bahwa bangunan candi ini adalah candi Agama Hindu aliran pemuja Dewa Wisnu atau dikenal sebagai aliran Waisnawa. Kapan bangunan candi ini didirikan dan oleh siapa belum dapat diketahui. Berdasarkan perkiraan ikonografis, arca-arca Wisnu bertangan empat ini umumnya lebih tua umumnya dari abad VII Masehi, bahkan lebih tua pula dan prasasti Kotakapur yang dibuat oleh raja Sriwijaya tahun 686 Masehi. Dapat diperkirakan bangunan candi Situs Kotakapur didirikan sebelum hadirnya kerajaan Sriwijaya. Bukti lain dari hasil pertanggalan Karbon 14 memperkuat dugaan ini, sekaligus membuktikan, bahwa benteng tanah yang dibuat mengelilingi situs bukan merupakan hasil buatan manusia abad pertengahan melainkan mendekati umur gaya arca yang diperkirakan dari abad VI Masehi. Semua informasi ini secara tidak langsung telah menempatkan Situs Kotakapur sebagai salah satu situs terpenting di kawasan Indonesia Barat (Junus Satrio, 1996:13).
Dari sumber-sumber prasasti dan temuan arkeologi di situs Kotakapur di atas dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan dari bentuknya, prasasti Kotakapur sangat menarik karena mirip bangunan Menhir pada tradisi megalithikum dan dari sisi wujud atau rupanya prasasti Kotakapur sangat berbeda dengan wujud prasasti-prasasti peninggalan Sriwijaya lainnya yang berbentuk bulat lonjong. Keberadaan bangunan megalithikum erat kaitannya dengan tradisi atau kepercayaan asli bangsa Indonesia, seperti pemujaan terhadap roh nenek moyang dan setiap materi atau benda memiliki kekuatan atau roh. Menhir adalah tiang atau tugu yang didirikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang dalam tradisi animisme dan dinamisme, sehingga menjadi benda yang dipuja masyarakat pada waktu itu. Setelah masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia terjadi akulturasi budaya dan bangunan pemujaan terhadap Syiwa dan Scakti (istri) sering dibuat dalam perlambang berbentuk Lingga dan Yoni yang merupakan bangunan menyerupai Menhir, seperti pada prasasti di Kotakapur. Rupanya tradisi megalithikum juga berkembang pesat di Pulau Bangka sebelum masa sejarah atau masa nirleka (tanpa tulisan; pra-aksara atau prasejarah) dan hingga kini artefak-artefak peninggalan tradisi megalithik (batu besar) dalam berbagai bentuk masih dapat dijumpai dibeberapa tempat di Pulau Bangka seperti Baturusa, Batubalai, Batubuaya, Batuperahu dan berbagai bangunan megalithik (batu besar) lainnya. Dari isi tulisan pada prasasti Kotakapur yang menggunakan huruf Pallawa menunjukkan, bahwa telah terjadi kontak budaya dengan India Selatan. Huruf Pallawa adalah huruf atau aksara yang berkembang dan dipergunakan di India Selatan (Kerajaan Pallawa) sekitar abad III sampai VII masehi. Kemudian dari bahasa yang digunakan pada prasasti Kotakapur yaitu Bahasa Melayu kuno, menunjukkan, bahwa pada sekitar abad VII masehi di Bangka telah ada dan berkembang Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, sebab tidak mungkin prasasti sebagai peringatan atau sebagai undang-undang dibuat kalau tidak dapat dibaca dan dimengerti oleh masyarakat setempat pada waktu itu. Bila kita telaah isi prasasti Kotakapur pada baris kelima yang berbunyi “Jaya, talu muah ya dngan gotrasantanana, tathapi sowanyaknya yam wuat jahat, makalangit uram makasakit, makagila, mantragada wisaprayoga, upah tuwa tamwal” yang artinya “rusak pula dengan sanak saudaranya, begitu pula sekalian orang, yang perbuatannya jahat, membikin rusak pikiran orang, menyakiti, membikin gila, melakukan mantra guna-guna, mempergunakan bisa (racun) upas, tuba sirih”, merupakan hal-hal atau perbuatan yang sangat lazim dan sering dilakukan oleh orang di Pulau Bangka bahkan sampai sekarang masih dilakukan, jadi wajar jika raja Sriwijaya membuat undang-undang yang akan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat dan mendurhaka terhadap kekuasaan Sriwijaya, serta menjamin keselamatan mereka yang tetap taat dan setia. Bahasa Melayu kuno juga digunakan pada empat prasasti awal peninggalan Kedatuan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Pulau Sumatera yaitu pada Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu dan Karang Berahi. Selanjutnya kesimpulan yang terpenting adalah isi dari prasasti Kotakapur yang menunjukkan keterangan tentang nama Sriwijaya sebagai nama sebuah kerajaan atau kedatuan pertamakali diketahui oleh para peneliti dari isi prasasti Kotakapur yang tertulis pada baris ke-2 tercantum kalimat kedatuan Sriwijaya (kerajaan Sriwijaya), baris ke-4 tercantum tulisan datu Sriwijaya (raja Sriwijaya), dan baris ke-10 tercantum tulisan balla Sriwijaya (tentara Sriwijaya).
Berdasarkan sumber prasasti dan temuan arkeologi juga dapat disimpulkan, bahwa pada sekitar abad VI masehi atau sekitar seratus tahun sebelum kejayaan dan penaklukan Sriwijaya, di Pulau Bangka, tepatnya di sekitar situs Kotakapur terdapat sebuah kerajaan dengan peradaban yang cukup maju, hal ini didukung dari sumber kesusasteraan India, dalam Kitab Mahanidesa yang ditulis sekitar abad III masehi menyebutkan nama beberapa pulau, seperti Swarnabhumi (Sumatra), Jawadwipa (Jawa), dan Wangka (Bangka) yang berarti timah. Berdasarkan catatan pendeta I-tsing dalam perjalanannya tahun 685 M, menyebutkan urut-urutan negeri dari barat ke timur, dituliskan nama Mo-ho-hsin sesudah Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) dan sebelum Ho-ling, artinya, Mo-ho-hsin terletak di antara Sriwijaya dan Holing. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan dalam buku sejarah Sriwijaya yang diterbitkan tahun 1983, disebutkan, bahwa setidak-tidaknya pelayaran dari Sriwijaya ke Holing harus terlebih dahulu melalui tempat yang bernama Mo-ho-hsin. Para ahli sejarah memang masih belum sampai pada kata sepakat dalam mengidentifikasi tentang Mo-ho-hsin, sebab ada yang mengartikan dengan Banyuasin, namun, berdasarkan Prasasti Kotakapur yang ditemukan di Pulau Bangka menunjukkan, pada abad VII masehi di daerah ini terdapat sebuah negeri taklukan Sriwijaya yang cukup penting, sehingga raja Sriwijaya merasa perlu untuk menempatkan salah satu prasasti persumpahannya di Pulau Bangka. Sampai sekarang memang belum dapat dipastikan terjemahan yang tepat terhadap kata Mo-ho-hsin. Menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, besar kemungkinan kata Mo-ho-hsin berhubungan dengan kata Sanskerta, moha yang berarti “bingung” atau “linglung,” dengan demikian, mungkin bukan suatu kebetulan jika sekarang pulau ini bernama Bangka, karena dari sana timbul istilah tua-bangka yang biasanya ditujukan kepada orang yang sudah tua dan bingung.
Ramainya laut di sekitar Pulau Bangka yang menjadi simpang tiga jalan pelayaran antara Indonesia, Tiongkok dan India adalah salahsatu penyebab berkembangnya peradaban di Pulau Bangka. Penghasilan negara Sriwijaya terutama diperoleh dari sektor perdagangan, seperti komoditas ekspor dan bea masuk bagi kapal-kapal asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sriwijaya. Salah seorang peneliti sejarah Sriwijaya, J.C. van Leur, merinci jenis-jenis komoditas ekspor tersebut, yakni kayu gaharu, kapur barus, cendana, gading, timah, ebony (kayu hitam), kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan, sementara itu menurut berita Arab, komoditas yang diperdagangkan dan berasal dari Sriwijaya pada masa itu adalah cengkeh, pala, kapulaga, pinang, kayu gaharu, kayu sapan, rempah-rempah, penyu, emas, perak, dan lada. Komoditas seperti penyu, kayu gaharu, kemenyan, rempah-rempah (lada), pinang dan timah merupakan komoditas yang relatif banyak dihasilkan di Pulau Bangka, malah ada tempat di Pulau Bangka yang disebut Pangkalpinang (pinang dalam Bahasa Cina disebut pinlang atau pinkong) yang menunjukkan banyaknya pohon Pinang yang ditanam di daerah itu. Temuan terak logam di situs Kotakapur menunjukkan, bahwa biji timah telah ditemukan di Pulau Bangka pada masa ini dan timah merupakan bahan campuran untuk membuat barang-barang dari perunggu (perunggu merupakan campuran tembaga dan timah) dengan menggunakan teknik a cire perdue. Kebudayaan Perunggu atau Zaman Perunggu bukan merupakan budaya asli Bangsa Indonesia. Zaman perunggu dikenal Bangsa Indonesia dari masuknya pengaruh kebudayaan Dongson di daerah Tonkin Cina. Masuknya kebudayaan Dongson dan kemudian menyebar ke Asia Tenggara termasuk Indonesia menunjukkan dengan jelas, bahwa telah terjadi hubungan yang erat antara Pulau Bangka dengan daratan Asia. Menurut para ahli dan Prof. Soekmono, pembawa kebudayaan Dongson adalah sebangsa dengan pembawa kebudayaan Kapak Persegi pada masa neolithikum (zaman batu muda) yaitu bangsa Austronesia, mereka merupakan nenek moyang bangsa Indonesia yang datang pada gelombang kedua sekitar tahun 500 sebelum masehi. Temuan sejumlah pecahan keramik yang berasal dari Cina Selatan abad XII-XIII masa dinasti Sung di situs Kotakapur memperkuat pernyataan, bahwa telah terjadi proses perdagangan melalui pertukaran barang dengan negara Cina yang memiliki hubungan dagang dengan Sriwijaya. Catatan Cina, Hsin-tang-shu (sejarah Dinasti Sung) menyebutkan, bahwa di Sriwijaya kala itu sudah mempunyai 14 kota dagang, mungkin termasuk salahsatunya Kotakapur, hal ini terbukti, bahwa letak Kotakapur merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan perairan di Selat Bangka.
Kesimpulan terakhir dari temuan arkeologis dan prasasti di situs Kotakapur menunjukkan, bahwa pada wilayah Kedatuan Sriwijaya tidak hanya berkembang dan dipengaruhi oleh budaya dan agama Budha saja, akan tetapi dipengaruhi juga oleh agama Hindu, bahkan agama Hindu aliran Wisnu (waisnawa) telah maju dan berkembang pesat di Pulau Bangka sebelum Sriwijaya melebarkan kekuasaannya ke Pulau Bangka pada akhir abad VII masehi. Agama Hindu pada masa itu juga masih berkembang di Sumatera, terlihat dari temuan candi Angsoka dan Yoni di daerah Palembang. Pada abad X sampai XII masehi, agama Hindu rupanya mencapai puncak perkembangannya, hal ini terbukti dengan ditemukannya arca-arca dan kompleks bangunan candi di luar kawasan Palembang, yakni di situs Tanahabang, Muaraenim, Sumatra Selatan (Erwan Suryanegara, 2008). Pada masa yang bersamaan agama Hindu aliran waisnawa juga berkembang di Asia Tenggara daratan dan pantai utara Jawa barat.
Prasasti Kotakapur dan temuan-temuan arkeologis lainnya di lokasi situs Kotakapur saat ini disimpan di Museum Nasional dan Balai Arkeologi Palembang, hal ini terjadi mungkin karena Propinsi Kepulauan Bangka Belitung sampai saat ini belum memiliki Museum Daerah sebagai tempat yang representatif untuk menyimpan dan memperkenalkan benda-benda bersejarah. Prasasti Kotakapur sendiri saat ini berdasarkan informasi masih berada di Museum Rijk Belanda untuk keperluan pameran. Dari temuan-temuan arkeologis sangat jelas, bahwa pada situs Kotakapur dan prasasti Kotakapur sendiri memilki arti yang sangat penting bagi sejarah Bangka Belitung, sejarah Indonesia, bahkan sejarah dunia. Jangan sampai Bangka Belitung dikatakan orang sebagai negeri tanpa sejarah karena ketidakpedulian pada peninggalan peradaban masa lampau. Berbagai penelitian di situs Kotakapur telah dilakukan pada tahun 1992, 1993, 1996, 2008, 2010, akan tetapi masih dilakukan secara parsial serta hasil penelitian tidak disampaikan kepada publik, sudah saatnya berbagai hasil penelitian yang dilakukan dan temuan, baik oleh bangsa sendiri maupun oleh bangsa asing dikumpulkan untuk dipelajari guna kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kepariwisataan.
Pada saat kegiatan Lawatan Sejarah Kota Pangkalpinang tahun 2009 ke Kotakapur, dengan peserta sekitar 80 orang terdiri dari Guru sejarah, Peserta didik dan kalangan Pers yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran sejarah dan budaya serta untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan dan persatuan serta nilai budaya untuk memperkokoh integrasi dan jatidiri bangsa, para peserta lawatan memperoleh kekecewaan karena disamping perjalanan yang melelahkan karena jalan menunju Situs Kotakapur rusak dan pada lokasi situs tidak ditemukan sedikitpun tanda-tanda, bahwa ditempat ini pernah tumbuh dan berkembang sebuah peradaban dari masyarakat Bangka yang cukup tua dan sudah sangat maju. Kondisi situs terdiri dari hutan sekunder, semak belukar dan kebun Cempedak serta hutan Karet. Sisa-sisa temuan bangunan dua buah candi Hindu yang terbuat dari material batu putih yang juga tempat ditemukan dua arca serta sejumlah pecahan (fragmen) tangan arca waisnawa sudah ditimbun atau ditutup kembali dengan tanah untuk mengamankan jangan sampai batuan candi diambil masyarakat untuk berbagai keperluan. Masyarakat sekitarpun hampir tidak memilki ikatan emosional dengan keberadaan situs Kotakapur. Menurut penduduk di Desa Kotakapur setiap orang yang datang pasti akan bertanya dan kecewa melihat kondisi yang ada dengan tidak adanya informasi serta tidak adanya tanda-tanda tentang keberadaan situs Kotakapur di lokasi. Kondisi yang paling memprihatinkan lagi saat ini adalah adanya ancaman penambangan timah illegal oleh oknum anggota masyarakat disekitar situs dan diperairan sekitar lokasi situs, apabila hal ini dibiarkan serta tidak ada tindakan konkrit dan aturan yang tegas akan menyebabkan hilang dan rusaknya situs Kotakapur dari muka bumi. Langkah-langkah konkrit yang perlu segera dilaksanakan adalah melakukan pembebasan lahan tempat lokasi situs dari kepemilikan masyarakat dan menjadikannya milik pemerintah, kemudian pada lokasi situs diberi pagar atau tanda, bahwa kawasan tersebut adalah kawasan situs dan Benda Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, disertai dengan ancaman pidananya, kalau perlu dibuat Peraturan Daerah Propinsi yang menetapkan kawasan atau situs Kotakapur sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Propinsi yang dilindungi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah penanganan secara serius dan terpadu yaitu dengan pembentukan dan penetapan pengelolaan terpadu kawasan cagar budaya dan situs Kotakapur seperti yang saat ini dilakukan pemerintah pada kawasan warisan budaya Candi Prambanan dan situs manusia purba di Sangiran. Kegiatan ini harus melibatkan semua komponen mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta masyarakat di sekitar lokasi situs, karena urusan pelestarian (perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan) warisan budaya merupakan kewenangan concurent atau kewenangan yang harus ditangani/diurus secara bersama oleh pemerintah dan masyarakat, untuk itu maka diperlukan suatu Rencana Induk Pengembangan objek situs Kotakapur yang integral. Penyiapan sumber daya masyarakat di sekitar lokasi situs juga sangat urgen untuk dilaksanakan sebab masyarakatlah yang akan menerima keuntungan secara langsung bila kawasan atau situs Kotakapur menjadi satu kawasan kebudayaan dan kepariwisataan. Sebagai sebuah contoh sederhana yang menarik, penulis pernah berkunjung ke Pulau Selayar yang letaknya cukup jauh di ujung Propinsi Sulawesi Selatan. Pulau Selayar dikenal dunia karena memiliki situs dan benda purbakala yang disebut Nekara Perunggu yang unik, karena lukisan/ukiran pada Nekara menggambarkan ukiran hewan-hewan yang tidak terdapat atau tidak hidup di Pulau Selayar sendiri. Perjalanan darat, laut dan udara yang ditempuh cukup jauh dan melelahkan menjadi terobati setelah menyaksikan bentuk fisik atau wujud Nekara Perunggu Pulau Selayar sebagai sebuah hasil peradaban manusia yang demikian maju. Pulau Selayar menjadi terkenal di seantero dunia karena siapapun yang pergi dan berkunjung kesana dapat melihat, mempelajari dan menyaksikan secara langsung keberadaan Nekara Perunggu Pulau Selayar. Alangkah menariknya jika hal seperti ini dilakukan di Kotakapur, sungguh suatu hal yang luar biasa bagi masyarakat Kotakapur dan bagi masyarakat Pulau Bangka. Banyak orang dari berbagai penjuru dunia yang akan datang berkunjung ke Kotakapur Pulau Bangka untuk menyaksikan Prasasti Kotakapur dan peninggalan arkeologis lainya, bukan seperti kondisi sekarang, situsnya tidak kelihatan, temuan arkeologisnya berserakan dimana-mana, sementara prasasti Kotakapurnya berkeliling dunia mengunjungi orang di Eropa untuk ikut dalam pameran, mudah-mudahan saja prasasti Kotakapur cepat kembali ke tanah air, tidak rusak ataupun hilang